.

Friday, October 7, 2016

”Pemakai shabu lebih bodoh dari binatang”

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEinDv1MYlnzapS35rdALYbkg9ZaRIHK4V8km5jAmxKwuJXGzVy3h6jCDLnnj93u5hZt5corVVvL-jRsSqU9GyOdCi7ly4ywVQY4FQ507OEvPm0SDJKmbHsSM2XkF_Xwsr3bCrtbqgf8M8FY/s1600/korban_biru.jpg



KALAU dilihat dari fisiknya mungkin banyak yang menyangka bahwa dia sudah berusia di atas 60 tahun. Gigi depannya sudah tanggal alias ompong. Rambutnya sudah menipis dan sebagian besar berwana putih. Hanya kulitnya saja yang belum keriput layaknya kakek-kakek. Namun setelah ngobrol lebih jauh, gayanya santai, bicaranya ceplas-ceplos, sesekali humor-humor segar pun meluncur dari bibirnya.
Haji Kaharudin, ternyata umurnya baru menginjak kepala lima. "Kenapa banyak yang nyangka saya udah kakek-kakek? Padahal saya baru berumur 54 tahun." gumam Kaharudin. Ia pun lantas bercerita keadaan fisik tubuhnya yang seperti itu adalah akibat menggunakan berbagai macam narkoba. Dalam kurun waktu 7 tahun (1995-2002) kelahiran Pontianak ini kecanduan narkoba, terutama jenis shabu. Menurutnya efek shabu terhadap tubuh sangat merugikan, mulai dari rambut rontok, gigi ompong, fisik jadi cepat lemah, otak jadi lemot (lambat berpikir, Red.), dan yang paling fatal adalah menurunnya gairah seks.
Di daerah kediamannya, Ternate, tidak ada yang tidak mengenal Kahar - dari tukang ojek sampai pemilik perusahaan, dari staf pegawai pemerintahan sampai gubernur. Masyarakat Ternate akrab memanggil beliau dengan nama Haji Ompong sesuai dengan ciri-ciri fisiknya. Walau begitu, ketenarannya itu tidak menghalangi pria yang mahir berbagai jenis bahasa daerah ini untuk berbagi kisah tentang masa kelamnya dulu. "Saya terbuka untuk menyampaikan apa yang saya alami untuk generasi muda, supaya mereka tuh tahu bahwa memakai narkoba itu salah. Memang ada gunanya tapi sangat sedikit." tandas Kahar. Sore itu dengan mengenakan kemeja dan celana jins santai, Kahar menuturkan kisah hidupnya yang sangat panjang dan menarik di sebuah hotel di kawasan pusat Jakarta, saat ia berkunjung ke ibukota.

Menggelontorkan Granat
Untuk urusan nakal, kata Kahar, telah dimilikinya sejak kecil saat duduk di Sekolah Rakyat (SR). Waktu itu ia sering berkelahi. Bak seorang pahlawan, dirinya sering membela teman-temannya. "Teman saya yang berkelahi, saya yang maju. Main golok dan segala macam juga saya layani," ucap Kahar bersemangat.
Ketika masuk SMA, kenakalannya pun makin menjadi, dari iseng-isengan, berkelahi, mencuri, dan mabuk-mabukan. Pernah suatu waktu Kahar memiliki sebuah granat. Karena sifat isengnya yang kelewat besar, ketika teman-temannya sedang main basket dengan sengaja ia menggelontorkan granat ke lapangan tersebut. Sontak teman-temannya langsung berhamburan.
Ketika SMA, jarak antara sekolah dan rumahnya sangat jauh. Karena itu, Kahar sering menginap di rumah teman-temannya. "Rumah di Cimahi, sekolah di Bandung, kira-kira dua belas kilometer jaraknya. Dulu belum ada mobil-mobil. Jadi saya harus jalan dan naik truk pasir yang lewat. Kalau kemalaman, yah mending
nginep di rumah teman. Saya juga sering nginep di rumah teman saya yang wanita, dulu saya sering tidur di rumah mamahnya Rina Gunawan." kenang Kahar.
Pada masa SMA ini pula ia mulai mengenal jenis-jenis narkoba. Namun, ganja yang diakui paling dikenalnya. Di tempat bergaulnya, yakni tempat berkumpul banyak remaja nekat dan nakal, ia jadi sering ngeganja. "Mengganja dulu bukan untuk nyandu, tapi untuk senang-senang saja. Kalau saya bawa ganja bukan selinting dua linting tapi satu tas tentara. Saya tanam di Batujajar dan Cimahi dulu. Cuman saya sendiri jarang ngerokok karena saya dulu pelari." tuturnya sambil menghisap rokoknya dalam-dalam.

Ranking Se-Asia

"Saya inikan gila di sini (Jakarta, Red.). Siapa yang gak tau saya, penyanyi seperti Dedi Dores aja anak buah saya kok. Saya memang pemakai berat, mungkin di Jakarta ini gak ada yang nandingin, bahkan kalau ada ranking mungkin saya termasuk ranking untuk pemakai narkoba se-Asia," ujar anak kedua dari empat bersaudara ini menggebu. Kenangan Kahar kembali ke tahun 1995, saat usai menunaikan ibadah haji sekaligus harus berpisah dengan istrinya. Kehidupan bebas ala pelaut rupanya tidak bisa diterima oleh sang istri sehingga ketika Kahar sedang berpesta di sebuah diskotik dengan ditemani seorang wanita, istrinya datang mendamprat Kahar dan perempuan tersebut dengan kata-kata kasar dan sumpah serapah. Merasa sakit hati, Kahar mendatangi sang istri dan berkata, "Mulai hari ini kamu bukan istri saya lagi!" Ia juga mengatakan akan mengawini perempuan diskotik yang didamprat tersebut hanya untuk membuat sang istri sakit hati.
Setelah bercerai, Kahar keluar dari tempat tinggalnya di kawasan Kemang Pratama dan menyewa sebuah kamar berukuran kecil di daerah Kemayoran. "Banyak teman-teman saya yang nanya kok mau nyiksa diri dari istana pindah ke gubuk. Saya keluar rumah memang hanya membawa badan. Rumah saya di kawasan Kemang Pratama yang saya beli seharga 1M, saya tinggalin!" tegas pria yang memiliki hobi memancing di empang ini. Lingkungan tempat tinggal barunya ternyata tidak seramah dan senyaman tempat tinggalnya dulu. "Di Kemayoran itu dulu sarangnya narkoba. Tempat bandar paling besar di Jakarta. Barang apa aja ada di situ. Kegilaan saya mulai pada saat itu karena dikelilingi oleh perempuan-perempuan nakal dan kehidupan malam di situlah saya mengenal shabu," papar Kahar sembari menambahkan bahwa di situ ia hanya bertahan sampai empat bulan dan kemudian pindah menyewa sebuah rumah berukuran besar yang masih terletak di kawasan Kemayoran.
Di dalam rumah tersebut Kahar membeli alat-alat band dan membuat studio rekaman. "Dedy Dores saya rekrut. Saya bikin band namanya Baruna Grup. Bikin sinetron juga. Punya rekaman juga." tutur Kahar.
16 Juta Seminggu
Menurut Kahar, kecanduannya akan shabu bukan atas bujukan orang lain tapi karena kemauannya sendiri. Namun tidak ia pungkiri memang pergaulan mempengaruhi mengapa ia memakai shabu. Setelah mencoba shabu Kahar merasakan sensasi senang, takut, gembira yang luar biasa - tergantung dari perasaan kita sebelum memakai barang haram tersebut. "Kalau kita lagi senang trus
make shabu, fly-nya lebih senang. Kalau takut jadinya malah parno dan sangat ketakutan. Kalau sudah begitu bisa nekat loncat dari ketinggian, lari sekencang mungkin. Binatang harimau yang larinya kencang, orang yang nyabu masih lebih kencang larinya dari harimau. Jadi shabu waktu itu cocok dengan kondisi saya. Hanya shabu yang bisa dipakai untuk ketenangan dan bisa dipake sendiri gak usah bareng-bareng. Karena saya kalau nyabu tidak pernah ngajak atau ngebujuk teman untuk ikut make." ujar ayah dari satu putra ini.
Pada kurun waktu 1995 sampai 1999, rezeki yang diterima Kahar sangat berlimpah. Semua yang ia lakukan bisa menghasilkan duit, bahkan sampai mengekspor barang ke luar negeri. Mobil limosin dan mobil build up lainnya memenuhi garasi rumah. Cincin dan batu-batu seharga ratusan juta terpasang di jarinya. Disokong dengan dana yang tak terbatas, membuat kecanduannya semakin menggila. Narkoba seperti inex, ekstasi ia beli dalam jumlah besar dan selalu tersedia seperti kacang goreng di rumahnya. Shabu yang sudah seperti makanan pokok untuk Kahar, tentu tidak ketinggalan. Dalam seminggu ia bisa menghabiskan Rp 16 juta untuk membeli shabu. "Dulu satu ons itu 16-an juta. Paling itu bisa bertahan sampai seminggu, malah gak
sampe mungkin." kata Kahar.
Dalam kurun waktu tersebut Kahar tetap melaksanakan tugasnya di kantor yakni di Barito sebagai kepala perkapalan. Lama-kelamaan produktifitasnya menurun, Kahar bahkan hanya mampu mengandalkan anak buahnya untuk bekerja. Pernah pada saat ia sedang rapat dengan bos-bos perusahaannya dari Korea ia tertidur sampai rapat berakhir. "Bangun-bangun badan saya sudah diselimuti dan ruangan sudah sepi." kenang Kahar.
Tidak Makan Berhari-hari
Efek jahat shabu pada tubuhnya sudah mulai parah. Badannya seakan tidak punya tenaga untuk beraktifitas, ia bisa menghabiskan sehari penuh untuk tidur sehingga kerjaannya pun terbengkalai. Badannya kurus karena tidak ingat makan, otaknya lemah. Bahkan karena saking seringnya tertidur ia sudah lupa akan waktu dan hari. Akibatnya Kahar jadi bulan-bulanan penipuan oleh teman dan anak buahnya. Barang-barang di rumahnya ia jual dengan harga murah tanpa sadar. Mobil limosinnya hanya dijual dengan harga 100 juta, itupun baru diketahui ketika satu hari ia ingin keluar rumah. Seperti biasa supirnya pasti bertanya ingin menggunakan mobil yang mana, spontan ia jawab mobil limosin. Namun supirnya berkata bahwa mobil itu sudah dijualnya tadi malam dengan harga 100 juta. Ketika bertaruh dalam pertandingan sepak bola pun Kahar selalu mengalami penipuan. Ia selalu bertaruh untuk pertandingan yang sebenarnya sudah selesai dan hasilnya sudah ada. Sekali bertaruh ia bisa kalah sampai 50 juta.
Saking seringnya mengalami penipuan, lama-kelamaan akhirnya Kahar bangkrut juga. Untuk memenuhi kebutuhannya akan shabu ia terpaksa menjual barang-barang berharga yang tersisa. Cincin dan batu seharga ratusan juta ia jual dengan harga jutaan saja. Mobil-mobil koleksinya satu persatu hijrah dari garasi. Namun sampai semua barangnya sudah habispun kecanduan Kahar akan shabu belum berhenti juga. Kahar bahkan sampai tidak makan berhari-hari karena tidak punya uang. Teman-temannya yang dulu baik, kabur dan menjauh. Hanya segelintir orang saja yang kadang masih ingat kepadanya dan mau memberi ia makan.
Puncaknya ketika bulan Mei 1999, Kahar keluar dari tempatnya bekerja. Lebih tragis lagi ia harus menerima kenyataan ditinggal pergi ibunda tercinta untuk selamanya. Harta terakhir yang ia miliki yaitu sejumlah uang dalam rupiah dan dolar raib diambil di bandara ketika Kahar ingin menghadiri pemakaman ibunya.

Bertemu Dewi Penolong
"Hidup saya sudah pasrah, mau makan atau tidak kek terserah," kenang Kahar pada saat kecanduannya akan narkoba masih merongrong walaupun harta ludes tak tersisa. Teman dan keluarga menjauh. Tak disangka ternyata salah satu keponakannya yang menjadi dokter mau berkunjung. Saat itu sang ponakan membawa serta temannya yang juga seorang dokter bernama dr. Rosidah HS. Kesan pertama bertemu dengan Rosidah sudah membuatnya ingin memukul wajah gadis yang sebenarnya berparas cantik tersebut, sebab shabu miliknya dirampas dan dibuang oleh Rosidah.
"Waktu saya lagi ngobrol sama keponakan saya, dia buang semua shabu saya. Saya marah sekali, rasanya saya mau tempeleng dia. Tapi dia dengan entengnya malah berkata saya yakin kok kamu bisa jadi suami saya. Asal kamu berhenti memakai shabu saya bersedia dikawini sama kamu. Saya bilang, kamu gila? Karena dengan kondisi saya yang sudah parah, badan kurus, mata keluar, rambut rontok. Siapa yang mau sama saya?" ucap Kahar akan kesannya ketika bertemu pertama kali dengan Rosidah.
Namun ternyata omongan itu tidak main-main. dr. Rosidah membuktikan bahwa ia memang menyayangi Kahar dan benar-benar ingin melihatnya sembuh dari kecanduan shabu. Akhirnya bulan Juli tahun 2000, Kahar menikah dengan dr. Rosidah yang ternyata masih adik sepupu dari seorang petinggi di Polda Metro Jaya. Perbedaan umur 15 tahun tidak menjadi penghalang. Meski saat melamar, orang tua gadis bertanya padanya "Om, mana calon mempelai prianya? Saya jawab, saya sendiri. Kaget bukan kepalang mertua saya." cerita Kahar. Banyak teman-teman Kahar yang tidak percaya kalau ia bisa menikah dengan gadis cantik, kaya, dan berprofesi dokter. "Teman saya pada bingung gimana bisa? Kamu aja bingung apalagi saya." ucap Kahar sambil tertawa lepas.

Dikurung 3 Bulan

Kahar mengakui kalau istrinya memang sosok yang paling berperan dalam proses pemulihannya. Tapi dengan sedikit berkelakar, ia menyatakan alasan utama adalah karena sebetulnya uangnya sudah habis. "Kalau uang saya masih ada mungkin saya masih make walaupun saya ketemu dia." ucapnya. Kahar sempat dikurung oleh sang istri selama tiga bulan dalam kamar yang terisolasi. Selama dalam masa kurungan itu yang ia kerjakan hanya tidur menunggu istrinya pulang. Efek shabu menjadikan emosi Kahar sangat labil, persoalan kecil saja bisa membuat ia dan istri bertengkar. Namun dengan sabar dr. Rosidah terus berusaha merawat Kahar.
Setelah sekian lama dijaga oleh sang istri, berangsur-angsur kondisi kesehatan Kahar mulai pulih. Tekadnya untuk sembuh sudah bulat. Ia tahu betapa sulitnya untuk berhenti dari kecanduan shabu dan ia tidak ingin mengulangi kebodohannya untuk kedua kali. "Saya sadar bahwa untuk sembuh itu susahnya bukan main. Yang saya rasakan ketika penyembuhan itu udaranya panas sekali. Sampai-sampai kalau malam, saya tidurnya di bak kamar mandi berendam dengan air." ucap Kahar sambil menerawang.
Karena itu ia berpikir untuk pindah dari Jakarta ke Ternate dengan pemikiran di daerah pasti shabu susah didapat. Sang istri pun mendukung keinginan suaminya untuk pindah walau harus pindah dari rumah sakit tempat kerjanya di Jakarta. Di Ternate, kebaikan dan kedermawanannya sangat terkenal. Di tempat itu pula perlahan-lahan Kahar mulai membangun lagi kehidupannya bersama istri dan anaknya Sy. Ade Baruna Alqadrie yang masih kecil. Kehidupan ekonominya berangsur pulih walaupun tidak sejaya dahulu. Teman-temannya sudah mulai percaya kepada Kahar ketika mengetahui dirinya sudah pulih dari kecanduan shabu. Proyek-proyekpun mulai diberikan kepada Kahar. Menurut Kahar saat ini ia masih bekerja di bidang yang berhubungan dengan perkapalan, dan mulai merambah ke bidang pertambangan.

Saat ini ia sudah banyak menyadarkan orang di Ternate, terutama kaum muda. "Dengan cerita saya ini, saya ingin pembaca SADAR jangan pernah coba-coba pakai narkoba. Untuk yang masih make, sebenarnya harga diri mereka akan hilang karena jadi bodoh, lebih bodoh dari binatang. Sebodoh-bodohnya binatang lebih bodoh lagi orang yang make shabu. Kedua, mereka tidak menyadari akibatnya nanti. Syukur kalau dia mati, tapi kalau tidak? Bisa gila. Seperti saya ini sudah mengalami akibatnya." tandasnya mantap sebelum menutup pembicaraan. (DIM)

No comments:

Post a Comment